Sunday, August 25, 2013

Menjadi Ramah atau Solihah?





“Allaahu Akbar-Allaahu Akbar-Allaahu Akbar, Laaailaaha Illallaahu Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Walillah Ilham”
Sayup-sayup suara itu masih terdengar ditelinga. Dari masjid Darul Hikmah yang berjarak hanya 200 meter dari rumah. Bagai nyanyian rindu yang hanya terdengar setahun sekali. Menghidupkan semangat dan nuansa kehangatan bagi siapapun yang mendengar. Langit biru yang biasanya terang pun  tertutup kelembutan awan.  Membawa kesejukan dan ketentraman. Mendorong setiap orang melaksanakan sholat Id di masjid. Dan seolah ia pun tahu umat islam sedang merayakan hari spesial. Jalan Raya Lintas Timur Sumatera yang biasanya ramai pun ikut lengang. Hanya terlihat lalu lalang orang ke masjid serta beberapa pemudik yang hendak menuju kampung halaman.
Senang, nyaman, takjub, bahkan heran barcampur jadi satu. Maha Besar Allah yang masih memberiku kesempatan menyaksikan semua itu. Lebih dahsyat lagi tentu sebulan yang lalu. Bulan yang paling banyak Allah turunkan keberkahan-Nya masih sempat aku rasakan. Setelah sebulan penuh terlewati nampaknya ini benar-benar hari kemenangan. Idul Fitri. Atau yang biasa disebut orang Jawa dengan kata “riyoyo” yang artinya hari raya. Ada juga istilah lain yang menyebutnya “bodo”,  tak tahu dari mana asal dan arti katanya.
Tapi jangan salah, aku ingat benar yang guru ngajiku katakan waktu masih kecil dulu, “lek uwong ora poso yo ora ndue riyoyo”. Maksudnya, jika seseorang tidak berpuasa berarti dia  tidak punya hari raya. Kata-kata singkat namun penuh makna. Jika dipikir-pikir apa yang beliau katakan memang benar. Orang puasa kan sama halnya sedang berperang. Mereka berjuang melawan nafsu. Kalau berhasil dikatakan menang, kalau gagal ya berarti kalah. Logikanya yang jelas-jelas perang masih bisa kalah, apalagi yang tidak perang? Begitu pemahamanku sejak dulu.
Aku menyaksikan semuanya dari rumah. Ayah, paman, dan kedua adikku sudah berangkat ke masjid sejak tadi. Hanya aku dan ibu yang tidak ikut. Dari rumah aku dengar takbir berhenti berkumandang. Berarti waktu sholat sudah tiba. Jam dinding baru menunjukkan pukul 06:45 ketika imam mulai memimpin para jamaah. Sepuluh menit kemudian, giliran khotib mengerjakan tugasnya. Dari dalam rumah, aku masih menyimak baik beberapa kalimat yang ia sampaikan. “Hadirin yang dimuliakan Allah, hari kemenangan telah tiba. Hari yang merupakan momen paling tepat untuk saling memaafkan, menyambung silaturahim, dan menyambung persaudaraan. Tapi yang harus diingat, saling bermaafan beda dengan saling bersalaman. Saling bermaafan berarti sama-sama saling mengikhlaskan kesalahan serta kekhilafan orang lain, sedangkan saling bersalaman ialah kegiatan berjabat tangan yang dilakukan antara orang yang satu dengan yang lain. Di lingkungan kita, terjadi kesalahpahaman. Jika mau bermaafan  berarti harus bersalaman. Entah dengan mahram atau bukan. Padahal dalam Islam sudah jelas-jelas dikatakan, bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram hukumnya adalah haram”.
            Itulah sepenggal kalimat khotbah yang masih kuingat, selebihnya aku tidak tahu. Jika direnungkan, yang dikatakan khotib itu tepat sekali. “Saling bermaafan beda dengan saling bersalaman”. Sejak kapan Rosululloh SAW pernah mengajarkan kita, jika bermaafan maka harus berjabat tangan. Tidak pernah sekalipun. Bahkan dalam sabdanya beliau melarang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk bersentuhan. Namun kenyataan dalam masyarakat malah sebaliknya. Tak perlu jauh-jauh bicara soal masyarakat, bahkan orang tuaku sendiri pun juga begitu. Ibuku terutama. Beliau sangat menentang saat aku bilang kalau lebaran nanti aku tidak mau salaman dengan yang bukan mahram. Dengan berbagai alasan beliau menyanggahku. Katanya, “kalau tidak mau salaman nanti dikatakan angkuh, sombong, tidak bermasyarakat”. Bahkan pernah beliau mengatakan kalau pak Kyai pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam pun masih mau salaman dengan yang bukan mahramnya. Maklumlah, keluarga besarku memang kurang suka melihat orang seperti itu. Berjilbab terlalu lebar, kemana-mana pakai kaus kaki, tidak berjabat tangan dengan selain mahram, dan sebagainya. Katanya yang seperti itu berlebihan.  Sebenarnya mereka menyadari itu benar, tapi menurut mereka kurang tepat kalau hal semacam itu diterapkan di desa kami. Ibu juga selalu bilang, “di sana (Bandar Lampung) kamu gak apa-apa seperti itu, tapi kalau di rumah ya jangan”.
Bagiku tantangan dakwah bukan hanya kesulitan dalam mengajak mereka yang belum tahu agama, malahan sebaliknya. Menghadapi mereka yang sudah paham, tapi kurang tegas dalam menjalankan ajaran, itu jauh lebih berat. Terutama untuk orang baru berproses sepertiku.
Sebetulnya sejak kecil, aku sudah mengenyam pendidikan agama. Bapak selalu tegas kalau masalah agama. Sering telingaku dijewer kalau lupa menjalankan sholat lima waktu atau saat salah melafalkan huruf-huruf hijaiyah. Sampai lulus SMA pun aku masih belajar di pondok pesantren. Namun pesantren di desaku tentu agak berbeda dengan yang di Bandar Lampung. Paling mencolok dalam hal pergaulan ikhwan-akhwatnya. Ditempatku bukan hal tabu ikhwan-akhwat berjabat tangan. Bahkan ngobrol tanpa hijab pun sering. Makanya, aku perlu adaptasi cukup lama.
“Rika”, panggilan Ibu membuatku kaget. “Dalem Buk”, jawabku dalam bahasa jawa. Sambil menghampiri Ibu aku masih berpikir. Bagaimana nanti? Apa yang harus aku lakukan saat tetangga, teman-teman masa kecilku, atau bahkan guru ngajiku yang bukan mahram menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Haruskah aku menyambut jabatan itu agar tetap ramah? Atau malah mengabaikannya agar menjadi solihah?

No comments:

Post a Comment