“Allaahu
Akbar-Allaahu Akbar-Allaahu Akbar, Laaailaaha Illallaahu Allaahu Akbar, Allaahu
Akbar Walillah Ilham”
Sayup-sayup
suara itu masih terdengar ditelinga. Dari masjid Darul Hikmah yang berjarak
hanya 200 meter dari rumah. Bagai nyanyian rindu yang hanya terdengar setahun
sekali. Menghidupkan semangat dan nuansa kehangatan bagi siapapun yang
mendengar. Langit biru yang biasanya terang pun
tertutup kelembutan awan. Membawa
kesejukan dan ketentraman. Mendorong setiap orang melaksanakan sholat Id di
masjid. Dan seolah ia pun tahu umat islam sedang merayakan hari spesial. Jalan
Raya Lintas Timur Sumatera yang biasanya ramai pun ikut lengang. Hanya terlihat
lalu lalang orang ke masjid serta beberapa pemudik yang hendak menuju kampung
halaman.
Senang,
nyaman, takjub, bahkan heran barcampur jadi satu. Maha Besar Allah yang masih
memberiku kesempatan menyaksikan semua itu. Lebih dahsyat lagi tentu sebulan
yang lalu. Bulan yang paling banyak Allah turunkan keberkahan-Nya masih sempat
aku rasakan. Setelah sebulan penuh terlewati nampaknya ini benar-benar hari
kemenangan. Idul Fitri. Atau yang biasa disebut orang Jawa dengan kata “riyoyo”
yang artinya hari raya. Ada juga istilah lain yang menyebutnya “bodo”, tak tahu dari mana asal dan arti katanya.
Tapi
jangan salah, aku ingat benar yang guru ngajiku katakan waktu masih kecil dulu,
“lek uwong ora poso yo ora ndue riyoyo”. Maksudnya, jika seseorang tidak berpuasa
berarti dia tidak punya hari raya.
Kata-kata singkat namun penuh makna. Jika dipikir-pikir apa yang beliau katakan
memang benar. Orang puasa kan sama halnya sedang berperang. Mereka berjuang
melawan nafsu. Kalau berhasil dikatakan menang, kalau gagal ya berarti kalah.
Logikanya yang jelas-jelas perang masih bisa kalah, apalagi yang tidak perang? Begitu
pemahamanku sejak dulu.
Aku
menyaksikan semuanya dari rumah. Ayah, paman, dan kedua adikku sudah berangkat
ke masjid sejak tadi. Hanya aku dan ibu yang tidak ikut. Dari rumah aku dengar
takbir berhenti berkumandang. Berarti waktu sholat sudah tiba. Jam dinding baru
menunjukkan pukul 06:45 ketika imam mulai memimpin para jamaah. Sepuluh menit
kemudian, giliran khotib mengerjakan tugasnya. Dari dalam rumah, aku masih
menyimak baik beberapa kalimat yang ia sampaikan. “Hadirin yang dimuliakan Allah,
hari kemenangan telah tiba. Hari yang merupakan momen paling tepat untuk saling
memaafkan, menyambung silaturahim, dan menyambung persaudaraan. Tapi yang harus
diingat, saling bermaafan beda dengan saling bersalaman. Saling bermaafan berarti
sama-sama saling mengikhlaskan kesalahan serta kekhilafan orang lain, sedangkan
saling bersalaman ialah kegiatan berjabat tangan yang dilakukan antara orang
yang satu dengan yang lain. Di lingkungan kita, terjadi kesalahpahaman. Jika mau
bermaafan berarti harus bersalaman.
Entah dengan mahram atau bukan. Padahal dalam Islam sudah jelas-jelas
dikatakan, bahwa bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram
hukumnya adalah haram”.
Itulah sepenggal kalimat khotbah
yang masih kuingat, selebihnya aku tidak tahu. Jika direnungkan, yang dikatakan
khotib itu tepat sekali. “Saling bermaafan beda dengan saling bersalaman”.
Sejak kapan Rosululloh SAW pernah mengajarkan kita, jika bermaafan maka harus
berjabat tangan. Tidak pernah sekalipun. Bahkan dalam sabdanya beliau melarang
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk bersentuhan. Namun
kenyataan dalam masyarakat malah sebaliknya. Tak perlu jauh-jauh bicara soal
masyarakat, bahkan orang tuaku sendiri pun juga begitu. Ibuku terutama. Beliau
sangat menentang saat aku bilang kalau lebaran nanti aku tidak mau salaman
dengan yang bukan mahram. Dengan berbagai alasan beliau menyanggahku. Katanya,
“kalau tidak mau salaman nanti dikatakan angkuh, sombong, tidak bermasyarakat”.
Bahkan pernah beliau mengatakan kalau pak Kyai pengasuh Pondok Pesantren Darus Salam
pun masih mau salaman dengan yang bukan mahramnya. Maklumlah, keluarga besarku
memang kurang suka melihat orang seperti itu. Berjilbab terlalu lebar, kemana-mana
pakai kaus kaki, tidak berjabat tangan dengan selain mahram, dan sebagainya.
Katanya yang seperti itu berlebihan. Sebenarnya mereka menyadari itu benar, tapi menurut
mereka kurang tepat kalau hal semacam itu diterapkan di desa kami. Ibu juga selalu
bilang, “di sana (Bandar Lampung) kamu gak apa-apa seperti itu, tapi kalau di
rumah ya jangan”.
Bagiku
tantangan dakwah bukan hanya kesulitan dalam mengajak mereka yang belum tahu
agama, malahan sebaliknya. Menghadapi mereka yang sudah paham, tapi kurang
tegas dalam menjalankan ajaran, itu jauh lebih berat. Terutama untuk orang baru
berproses sepertiku.
Sebetulnya
sejak kecil, aku sudah mengenyam pendidikan agama. Bapak selalu tegas kalau
masalah agama. Sering telingaku dijewer kalau lupa menjalankan sholat lima
waktu atau saat salah melafalkan huruf-huruf hijaiyah. Sampai lulus SMA pun aku
masih belajar di pondok pesantren. Namun pesantren di desaku tentu agak berbeda
dengan yang di Bandar Lampung. Paling mencolok dalam hal pergaulan
ikhwan-akhwatnya. Ditempatku bukan hal tabu ikhwan-akhwat berjabat tangan.
Bahkan ngobrol tanpa hijab pun sering. Makanya, aku perlu adaptasi cukup lama.
“Rika”,
panggilan Ibu membuatku kaget. “Dalem Buk”, jawabku dalam bahasa jawa. Sambil
menghampiri Ibu aku masih berpikir. Bagaimana nanti? Apa yang harus aku lakukan
saat tetangga, teman-teman masa kecilku, atau bahkan guru ngajiku yang bukan
mahram menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. Haruskah aku menyambut
jabatan itu agar tetap ramah? Atau malah mengabaikannya agar menjadi solihah?
No comments:
Post a Comment